Perceraian, Lena



Akhir tahun 2013, di sebuah sore yang mendung, Lena meneleponku. Ia meminta aku, Ify, Zahara, dan Boni untuk datang ke rumahnya. Ia ingin bercerita sesuatu, termasuk tentang rencana perceraiannya dengan sang suami. Lena masih sangat membutuhkan kami, karena kami adalah sahabat. Bahkan sejak masih SMP. Sore itu, aku langsung mengambil Honda Beat merahku dan bergegas menuju rumah Lena. Disana sudah ada Ify dan Zahara.

Mereka bertiga sudah duduk bersama, membentuk lingkaran kecil, bertiga dan berempat denganku. Boni ternyata masih ada kuliah hingga jam lima sore. Memang, lima bulan terakhir ini kondisi rumah tangga Lena lumayan berat. Ia berulang kali bersitegang dengan sang suami. Apa karena efek pernikahan dini? Karena memang, Lena menikah satu tahun setelah lulus SMA. Dan rumah tangganya sudah berjalan sekitar empat tahun ini.

“Apakah sudah bulat Len? Kamu yakin mau berpisah dengan Mas Yon?” tanya Ify memantabkan hati Lena.
“Coba pikirkan lagi, Len. Bercerai itu bukan perkara mudah. Banyak yang akan menjadi korban. Terutama, si kecil Hamzah,” sambung Zahara.

Aku duduk diantara tiga perempuan itu. Lena memandangku dengan serius. Berharap aku mengeluarkan sepatah dua patah kata untuk meyakinkan pilihannya. Meskipun beberapa hari lalu aku sudah memberikan pendapatku soal ini, namun sepertinya, Lena ingin mendengarnya ulang agar Ify dan Zahara juga tahu.

“Kalau memang mantab untuk bercerai, ya lakukan aja, Len,” ucapku.

Ify dan Zahara menatapku dengan heran.

“Fahri,, kamu kenapa bisa berkata seperti itu? kamu tahu bercerai itu bukan ...”
“Tapi apa kalian sanggup terus-terusan hidup tertekan seperti halnya Lena?” potongku.

Ify terdiam. Begitu pun Zahara dan Lena.

“Perceraian itu mungkin saja pahit bagi Lena, dan bagi kita sebagai sahabatnya. Tentu kita berharap siapapun bisa mengarungi rumah tangga yang damai dan langgeng. Tapi hidup memang tak pernah bisa kita tebak kan? ada kalanya hati memang tak lagi sejalan, betapapun ia berusaha mempertahankannya,” lanjutku.

“Lalu? bagaimana dengan Hamzah?” sambung Zahara.
“Hamzah tak selamanya menjadi anak kecil. Ia akan tumbuh dewasa, dan ada saatnya dia akan mengerti,” jawabku.

Mereka terdiam. Begitu pun dengan Lena. Aku hanya menghela nafas. Sesekali mengalihkan pandangan ke balik jendela rumah Lena, tepatnya rumah orang tua Lena. Aku memutar ingatan dua hari lalu, ketika tiba-tiba Lena menyusulku ke sebuah dermaga. Tempat yang biasa aku kunjungi ketika sore hari. Ia meceritakan banyak hal tentang kekisruhan rumah tangganya. Tentang suaminya yang sering pulang malam, yang sering marah-marah, sehingga membuat mereka sering konflik. Dan itu beberapa kali dilihat oleh si kecil Hamzah.

“Aku hanya takut menjadi perempuan gagal, Ri. Setelah semua yang terjadi. Kau tahu kan? nanti setelah pengadilan agama memutus perceraian kami, maka aku akan menjadi janda dan mendapatkan cap sebagai perempuan yang gagal berumah tangga. Dan itu bukan kenyataan yang mudah aku terima,” jelasnya.

“Mungkin saja, Len. Tapi hidup adalah sebuah proses pencarian yang panjang. Kadang gagal, kalah, pahit itu juga dibutuhkan. Dan mungkin saja kamu tengah pada fase ini. Karena pada saatnya, kita semua akan saling berpisah. Tinggal bagaimana cara kita berpisah, dan itu sangat alamiah. Lagi pula, Hamzah juga butuh ketenangan. Atau, jika kau ingin mendidiknya dalam sebuah hubungan yang rapuh, menurutku itu sama saja membohongi diri kalian sendiri.”

“Tapi, aku belum siap menjadi perempuan gagal, Ri.”
“Tak ada yang siap Len. Aku pun juga tak siap melihatmu bercerai dengan Mas Yon yang dahulu sangat kau banggakan itu. Tapi hidup ini penuh warna, Len. Andaikan kau tahu. Diantara hitam dan putih, ada jingga, ungu, biru, merah dan lain-lain. diantara sedih dan bahagia, gagal dan berhasil, ada satu nilai yang kadang tak terjawab. Mungkin saja, perpisahan itu akan mengajarkan satu makna penting, daripada kamu harus bertahan dalam kerapuhan hati. Karena kau harus mendidik Hamzah secara utuh. Utuh tak berarti bersama. Tapi utuh dalam ketenangan bathinmu.”

“Sesuatu yang utuh?”
“Ya, akhir-akhir ini aku melihatmu patah hati sekali, Len. Sampai kapan kau terus begini? Sampai kapan kau akan mendidik Hamzah dengan patah hati seperti ini? ia masih terlalu kecil untuk memahami patah hatimu, dan jika kamu masih bisa bertahan dengan Mas Yon dan kembali lagi seperti awal dulu, tak masalah. Tapi jika hati telah berganti, siapa yang bisa menerka?”

“Berpisah adalah jalan terbaik, meski itu buruk. Itulah sms terakhir darimu,” ucapmu.

Aku terdiam. Sambil merenungi lagi, bahwa bukan aku yang menyuruh Lena untuk bercerai dengan Mas Yon. Tapi ia sendiri, dan melihat kondisinya itu, kurasa ia memang sudah saatnya berpisah. Meski itu bukan pilihan yang mudah. Aku tak ada hubungan apapun dengan Lena, kecuali hanya sahabat dan Lena mencoba meminta masukan.

“Kamu dan Hamzah butuh sesuatu yang utuh dalam hatimu, Len. Dan sesuatu itu tak akan tercipta dalam hubungan yang rapuh,” pungkasku.

Lalu aku beranjak pergi. Meninggalkan Lena yang mematung sendiri, memandangi debur ombak yang kemerosak. Dan memang, pertemuan sore ini hanya sebuah formalitas. Karena Lena plus Mas Yon telah sama-sama mengajukan cerai secara formal di pengadilan agama. Bahkan Mas Yon telah menjatuhkan talak secara non formal. Meski hanya sebatas kata, tapi itu tak main-main.

Tinggal menanti hari saja, Lena akan memulai hidupnya menjadi janda. Menjadi Ibu yang membesarkan anaknya, sekaligus mengajarkan kehidupan yang pahit kepada Hamzah, suatu kelak, ketika Hamzah telah mulai belajar memahami banyak hal.

2013, di sebuah senja
A Fahrizal Aziz
(Antologi Sepasang sayap)

Ahmad Fahrizal Aziz

Blogger dan Aktivis Literasi

Post a Comment

Tinggalkan jejak kamu lewat komentar di bawah ini. Terima kasih sudah membaca. Salam hangat

Previous Post Next Post

Contact Form