Jika Harus Demo




Tidak mudah memahami Undang-undang, apalagi yang tebalnya hampir 1.000 halaman. Perlu ahli hukum, sebagai penafsir.

Sebab menafsir sebuah teks hukum perlu memahami teks hukum yang lain. Keterkaitan antara teks satu dengan teks yang lain.

Orang awam, mana mampu?

Lantas, jangan bertanya pada mereka : apa sudah baca penuh? Apa sudah mengkaji?

Apalagi hanya jeda satu atau dua hari pasca RUU itu disahkan menjadi UU.

Aksi demonstrasi

Aksi demonstrasi melekat pada gerakan mahasiswa Indonesia, sejak 1966. Kita ingat ada Tritura (3 tuntutan rakyat).

Gelombang aksi itu diperkuat oleh kondisi ekonomi yang keos, tragedi G30S PKI dan dukungan dari TNI AD.

Gelombang aksi itu yang, salah satunya, melemahkan legitimasi Bung Karno, hingga akhirnya jatuh dari kekuasaannya setahun kemudian.

Laporan pertanggung jawabannya, yang dikenal dengan Nawaksara, ditolak oleh MPRS, palu diketok langsung lewat tangan Jenderal A.H Nasution. Anehnya, yang muncul sebagai penggantinya adalah Jenderal Soeharto, melalui surat sakti yang disebut Supersemar.

Aktivis kala itu, seperti Hariman Siregar pun merasa kecele. Mahasiswa ingin presidennya adalah A.H Nasution, bukan Soeharto.

Aksi besar lainnya terjadi 15-16 Januari 1974, yang dikenal dengan peristiwa Malari. Ini bisa disebut aksi bersejarah, menolak investasi asing. Kerusakan sangat parah, meski investasi tetap berjalan. Pak Harto kemudian dikenal sebagai bapak Pembangunan.

Pasca peristiwa Malari inilah, watak orde baru yang represif dimulai. Peristiwa Malari tidak saja sebagai titik mula perjuangan mahasiswa menolak investasi asing, namun juga titik mula pemerintah bersikap keras pada kelompok yang menentangnya.

Setelah itu, kebijakan pembredelan media massa, pembungkaman aktivis banyak terjadi, seperti bisa dimaklumi.

Puncak ledakannya pada 1998. Krisis ekonomi parah jadi momentumnya. Pak Harto mengundurkan diri sebagai Presiden.

Setelah reformasi

Reformasi bergulir. Mahasiswa kembali kecele karena pasca mundurnya Pak Harto justru yang dilantik adalah B.J Habibie, yang menurut mereka bagian dari orde baru.

Namun B.J Habibie adalah sosok heroik yang berani membubarkan Golkar dan merubah statusnya menjadi parpol biasa. PNS tidak lagi diwajibkan memilih Golkar. Pejabat di dalamnya diminta memilih, pilih tetap jadi pejabat atau pengurus partai.

Akbar Tanjung, tokoh sentral aktivis mahasiswa itu, memilih mundur sebagai pejabat.

Pemilu 1999 digelar, Amien Rais duduk sebagai ketua MPR, menyusun sejumlah sidang penting, salah satunya amandemen UUD 1945, terkait perubahan pemilihan umum, yang mana Presiden dan Wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat.

2004, pemilu digelar. Rakyat memilih langsung presiden dan wakil presidennya. Namun, tokoh reformasi itu kalah telak. Lantas, siapa yang sebenarnya ingin reformasi?

Di antara euforia reformasi yang sedang menggelora, sepanjang dua dekade berjalan kasus korupsi justru makin meraja lela.

Kasus merata ke hampir semua parpol yang memiliki kursi kekuasaan. Saat itu mungkin kita baru tersadar, kue kekuasaan juga sudah merata, bukan?

Namun mahasiswa masih demo sana sini. DPR, baik tingkat pusat, provinsi, sampe kota/kab masih setia menemui, menandatangi nota kesepemahaman atau apalah namanya, yang kadang hanya berakhir menjadi arsip sejarah.

Ritus berulang. Bahkan ketika Mahkamah Konstitusi (MK) sudah dibentuk dan diberi wewenang sangat luas : hasil sidang ratusan anggota DPR bisa dibatalkan di meja Hakim MK yang hanya berjumlah 7 orang.

RUU yang sudah terbit jadi UU tidak akan bisa dicabut oleh DPR, sekalipun Pemerintah tidak bersedia menandatangani. Itu ibarat Deisme.. sesuatu yang tercipta lalu dibiarkan.

Maka tuntutan mahasiswa jelas tak bisa dikabulkan oleh DPR. Siapa yang bisa mencabut UU yang sudah kadung disahkan?

Kata Charles De Gaulle, Politisi tidak pernah percaya pada ucapannya sendiri, mereka justru terkejut ketika rakyat mempercayainya.

Aktivis mahasiswa masih melakukan aksi demonstrasi, tapi pada hirarki tertentu, sembari menyuarakan keadilan, sebagian juga menikmati kekuasaan.

Jangan heran jika anda lihat para cerdik cendikia mendiskusikan kemiskinan di sebuah kafe super mewah, sembari menyesap secangkir cappucino yang harganya setara 3 kilogram beras.

Kita tidak menolak aksi demonstrasi. Kita menikmatinya. Generasi 60an hingga 90an juga menikmatinya. Mengingat dan mengulang sisi romantisme perjuangan.

Bedanya, mahasiswa sekarang lebih beruntung, karena sangat dekat dengan akses kekuasaan. []

Ahmad Fahrizal Aziz
Rakyat Jelata

Ahmad Fahrizal Aziz

Blogger dan Aktivis Literasi

Post a Comment

Tinggalkan jejak kamu lewat komentar di bawah ini. Terima kasih sudah membaca. Salam hangat

Previous Post Next Post

Contact Form