Slider

Top Categories

Travel

Travel
travel

Adventure

Life Reflections

Technology

Food

Movie Review

Book Reviews

Relationships

Relationships
ghhfgfgh

Monday, October 27, 2025




Kerumunan manusia seperti riuh suara tanpa makna. Orang-orang berlalu-lalang dengan wajah-wajah yang sibuk.


Bau logam bercampur aroma makanan cepat saji menguar di sudut peron. 


Ia berdiri di sana, di antara semua itu, memandangi papan digital yang mengumumkan jadwal keberangkatan. Hatinya serasa beku.


Ketika kereta akhirnya tiba, Ia memasuki gerbong dengan langkah lamban. 


Kursi-kursi berjajar rapi, sebagian sudah dihuni oleh penumpang lain. 


Ada seorang ibu dengan bayi yang tertidur di gendongannya, seorang pria tua dengan topi lusuh, dan sepasang remaja yang tampak asyik berbincang. 


Pendingin ruangaan menderu pelan, redup lampu membuat suasana semakin sendu. 


Di sudut tempat duduknya, dia meletakkan ransel dan menatap ke jendela besar. 


Langit sore mulai meredup, memberi jalan bagi gelap malam.


Tiga hari sebelum keberangkatan ke Jogja, dia kehilangan sesuatu yang telah lama menjadi bagian dari dirinya. 


Hubungan yang ia bangun dengan hati-hati, akhirnya runtuh. 


Kata-kata perpisahan masih terngiang di telinganya, perih seperti angin dingin menerpa luka menganga. 


Saat ini, yang ia inginkan hanya berebah di ranjang dan meratapi nasib.


Tubuhnya terasa lemah untuk bergerak, namun waktu tidak pernah berhenti. Ia tidak punya pilihan selain melangkah, meski langkahnya terasa berat.


Saat kereta mulai bergerak, ada letupan² aneh yang menjalar di dadanya. 


Suara roda yang menggesek rel menjadi irama monoton yang mengiringi pikirannya. 


Ia bertanya-tanya, apakah perjalanan ini juga akan membawa hatinya bergerak maju? 


Tak ada ruang untuk menyimpang, tak ada pilihan selain terus berjalan. Bukankah hidup juga seperti itu?


Ia mencoba melarikan diri dari rasa sakit, tapi putaran roda seperti mengupas lapisan-lapisan luka yang masih segar. 


Pemandangan di luar jendela—sawah yang luas, sungai kecil yang berkilauan, hingga lampu-lampu rumah yang berjajar di kejauhan—semuanya seolah membisikkan pelajaran yang tak terucap. 


Mungkin, seperti halnya kereta ini, Ia juga harus terus melaju, meski beban berat di hatinya belum menemukan tempat untuk diturunkan.


Setibanya di Jogja, pagi telah datang. Kota itu menyambutnya dengan keramahan yang khas—dari bau kopi yang mengepul di angkringan hingga suara gamelan yang samar terdengar dari kejauhan. 


Ia mengatur napas, merapikan penampilannya, dan memasang senyuman.


Di tempat kerja, profesionalisme adalah tuntutan. Orang-orang menyapanya dengan ramah, tak ada yang tahu badai kecil yang masih bergejolak di dalam dadanya. 


Malam itu, saat dia akhirnya sendiri di kamar, rasa lelah menghantamnya. 


Tapi ada sesuatu yang berbeda—entah kenapa, dia merasa sedikit lebih ringan. 


Mungkin perjalanan itu telah mengajarinya bahwa waktu, meski tidak bisa menyembuhkan seketika, selalu memberi ruang untuk bertahan. 


Seperti kereta yang tak pernah berhenti, hidup memintanya untuk terus bergerak. 


Rel yang dilalui terasa panjang dan membosankan, tapi di ujungnya, selalu ada tujuan yang menanti. []



*dari obrolan seorang teman

Tabik,

Monday, July 28, 2025



Sunday, January 1, 2023

 












































Tuesday, October 13, 2020



Sebagian peserta dari Makassar baru sampai di hotel. Sebagian lagi akan kembali esok hari, naik pesawat hanya sekitar 2 jam. Ternyata ada banyak peserta dari Makassar mewakili LBH Apik.

-00-
Subuh tadi sesampainya di stasiun Gambir, instrument lagu kicir-kicir membuat saya terdiam sejenak. Enak sekali lagu daerah ini.

Teringat salah satu lagu daerah favorit saya, Anging Mammiri dari Sulawesi Selatan. Bertepatan dengan kehadiran para kabilah dari Makassar. Kok serba kebetulan, ya?

Kami berbincang di dekat kolam renang lantai 8, di antara mereka ada yang masih pelajar SMK, juga mahasiswa semester 1. Jauh-jauh dari Kabupaten Gowa.

Anging Mammiri berarti wahai angin, lagu yang konon dikhususkan bagi para perantau. Sekilas sangat filosofis, angin membawa tubuh ke perantauan, namun menghempaskan jiwa kembali ke kampung halaman.

Ketika lagu ini dibawakan Putri Ayu saat opening Asian Games 2018, begitu syahdunya. Saya sampai mencari instrumentnya di YouTube, ikut merasakan suasana rindunya di perantauan.

Suasana malam itu begitu sejuk. Dihangatkan oleh perbincangan lintas suku dan budaya, bertukar informasi tentang daerah masing-masing. Juga sekilas membahas Anging Mammiri.

Kapan-kapan, saya ingin mengover lagu tersebut.

-00-

Sembari menanti keberangkatan kereta Gajayana Jakarta-Malang, saya membuat catatan ini. Beberapa kali instrument kicir-kicir dibunyikan, ketika ada kereta datang.

Instrument itu sepertinya memang dibuat untuk menyambut para penumpang. Jadi semacam memori song ketika turun di stasiun Gambir dan Jatinegara.

Asyiknya, sore itu ada musisi keroncong lengkap dengan kostum etniknya sedang "manggung" di balkon sebelah kiri. Lurus ke arah Mushala pria.

Gesekan biola yang menyayat hati, beradu dengan suara kipas angin, kendaraan, lalu lalang penumpang, dan voice informasi kereta yang nyaris selalu berbunyi karena padatnya jadwal stasiun Gambir.

Jelang pukul 18.00, kereta datang. Saya dan dua teman lainnya naik ke peron, satu lantai di atas balkon.

Kereta Gajayana baru datang dari stasiun Jakarta Kota, sehingga belum ada penumpang, karena titik keberangkatan baru dari stasiun Gambir. Instrument kicir-kicir pun juga tak dibunyikan. []

Cirebon, 27 Januari 2020
Ahmad Fahrizal Aziz
Kunci Postingan
Masukkan PIN untuk membuka konten:

Konten Terkunci

Selamat! Anda berhasil membuka kunci dan sekarang dapat membaca konten ini.


Tiket kereta api


Memasuki stasiun Jatinegara, saya mulai terbangun. Lelah dan pegal perjalanan lebih dari 13 jam via kereta api Gajayana. Meskipun kursi yang saya duduki terbilang nyaman, karena sandaran bisa didesain untuk tidur, plus ada bantal dan selimutnya.

Tak lama kemudian sampailah di Stasiun Gambir. Azan subuh belum berkumandang, kantuk masih menggelayut. Instrument musik kicir-kicir menyambut para penumpang.

Ini pertama kali saya turun Stasiun Gambir. Ya, pertama kali. Juga pertama kali ke Jakarta sendiri. Ah.

Belum jam 6 pagi, dan hujan mengguyur begitu derasnya. Agak lama saya menunggu di kursi dekat mushola selepas shalat subuh, sampai hujan reda.

Dari stasiun, ujung Monas terlihat menyala, kuning api.

"Bisa langsung naik taksi atau ojek mobil online langsung Bogor, nanti biaya diganti kok," Ujar salah seorang teman yang sudah empat hari berada di lokasi.

Kunjungan ini memang disponsori Oxfam Canada, semuanya. Full fasilitas. Namun saya memilih keliling dulu, menembus padat dan ramainya Jakarta pagi itu, rush hours. Jam sibuknya orang sini.

Jalan kaki dari Gambir, naik JPO, dan berjalan kaki sepanjang trotoar Jalan Merdeka Timur. Memandangi gedung-gedung mewah kantor pemerintahan, seperti gedung pertamina, PLN, Kementrian perdagangan, kementrian kelautan dan perikanan, markas TNI Angkatan Darat, dan berhenti sejenak di halte dekat gedung pajak.

Juga melewati Galeri Nasional. Sayangnya belum buka.

Asyik sih, meski jalanan ramai dan berisik. Sebenarnya tak jauh berbeda dengan Malang yang pagi hari juga padat kendaraan.

Stasiun Gambir dekat dengan banyak tempat populer seperti Balai Kota, Masjid Istiqlal, Monas, dan gedung-gedung penting lainnya.

Karena tak kuat lagi jalan, maka saya memesan gojek menuju gedung Perpustakaan Nasional. 

Mendekati jam 08.00, ternyata gedung perpustakaan belum buka. Khusus hari Jumat jam 09.00. Namun bisa masuk ke ruang heritage, dan melihat banyak pajangan menarik seperti diskografi, seni instalasi, dan sebagainya.

Juga bisa duduk di pelataran, mengintip para pegawai sedang senam pagi. Oya, di dekat pos satpam, terdapat saung, semacam gazebo yang bisa dimanfaatkan untuk diskusi.

Sebenarnya saya ingin menanti sampai perpustakaan buka, sekaligus membuat kartu anggota, namun di luar kembali gerimis, sementara saya harus segera ke Bogor.

Naik go-car?

Sebentar. Sepertinya perlu menjajal hal baru. Lantas saya pesan gojek lagi, mengitari Menteng, berhenti di stasiun Gondangdia. Tidak langsung ke stasiun, namun berjalan di sekitarnya, memesan sepiring nasi uduk plus jengkol.

Gerimis lagi. Buru-buru saya menuju stasiun khusus KRL tersebut, memesan tiket pada mesin loket otomatis.

KRL/Commuter line terhubung ke sejumlah daerah Jabodetabek. Saya memesan tiket tujuan akhir Bogor, dengan biaya Rp16.000, nanti akan mendapatkan THB (Tiket Harian Bergaransi), seperti kartu untuk tap ketika masuk dan keluar stasiun.

Di stasiun tujuan nanti, THB bisa dikembalikan ke loket dan uang kita dikembalikan Rp10.000. Artinya, Jakarta-Bogor via KRL hanya Rp6.000.

Siang itu, KRL begitu sepi. Banyak kursi kosong. Seorang perempuan paruh baya duduk di samping saya, baru pulang belanja.

Kami berbincang, tepatnya bertanya banyak hal tiap kali melewati stasiun terkait, seperti ketika melewati stasiun UI. Sebenarnya ingin sekali saya turun dan sejenak masuk kampus UI, namun waktu tak memungkinkan.

Hal ini saya rencanakan sebab pulangnya nanti jelas tak bisa naik KRL. Pihak panitia sudah memesankan taxi, langsung lewat tol, menembus padatnya Jakarta.

"Kalau siang begini lancar mah," Ujar sopir taxi.

Lancar? Padahal, jalanan dipadati mobil, juga motor. Merayap. Namun tetap bisa jalan. Dari Bundaran HI ke Gambir, rasanya lama sekali. Namun itu terbilang lancar, dibanding pagi dan sore, kata pak Sopir.

Macetnya Jakarta memang riil. Ya maklum, selama ini saya hanya melihat dari televisi, sebagai orang desa yang tak sedikitpun punya keinginan tinggal di Ibukota. []

Jakarta, 27 Januari 2020
Ahmad Fahrizal Aziz

Friday, October 9, 2020




Tidak mudah memahami Undang-undang, apalagi yang tebalnya hampir 1.000 halaman. Perlu ahli hukum, sebagai penafsir.

Sebab menafsir sebuah teks hukum perlu memahami teks hukum yang lain. Keterkaitan antara teks satu dengan teks yang lain.

Orang awam, mana mampu?

Lantas, jangan bertanya pada mereka : apa sudah baca penuh? Apa sudah mengkaji?

Apalagi hanya jeda satu atau dua hari pasca RUU itu disahkan menjadi UU.

Aksi demonstrasi

Aksi demonstrasi melekat pada gerakan mahasiswa Indonesia, sejak 1966. Kita ingat ada Tritura (3 tuntutan rakyat).

Gelombang aksi itu diperkuat oleh kondisi ekonomi yang keos, tragedi G30S PKI dan dukungan dari TNI AD.

Gelombang aksi itu yang, salah satunya, melemahkan legitimasi Bung Karno, hingga akhirnya jatuh dari kekuasaannya setahun kemudian.

Laporan pertanggung jawabannya, yang dikenal dengan Nawaksara, ditolak oleh MPRS, palu diketok langsung lewat tangan Jenderal A.H Nasution. Anehnya, yang muncul sebagai penggantinya adalah Jenderal Soeharto, melalui surat sakti yang disebut Supersemar.

Aktivis kala itu, seperti Hariman Siregar pun merasa kecele. Mahasiswa ingin presidennya adalah A.H Nasution, bukan Soeharto.

Aksi besar lainnya terjadi 15-16 Januari 1974, yang dikenal dengan peristiwa Malari. Ini bisa disebut aksi bersejarah, menolak investasi asing. Kerusakan sangat parah, meski investasi tetap berjalan. Pak Harto kemudian dikenal sebagai bapak Pembangunan.

Pasca peristiwa Malari inilah, watak orde baru yang represif dimulai. Peristiwa Malari tidak saja sebagai titik mula perjuangan mahasiswa menolak investasi asing, namun juga titik mula pemerintah bersikap keras pada kelompok yang menentangnya.

Setelah itu, kebijakan pembredelan media massa, pembungkaman aktivis banyak terjadi, seperti bisa dimaklumi.

Puncak ledakannya pada 1998. Krisis ekonomi parah jadi momentumnya. Pak Harto mengundurkan diri sebagai Presiden.

Setelah reformasi

Reformasi bergulir. Mahasiswa kembali kecele karena pasca mundurnya Pak Harto justru yang dilantik adalah B.J Habibie, yang menurut mereka bagian dari orde baru.

Namun B.J Habibie adalah sosok heroik yang berani membubarkan Golkar dan merubah statusnya menjadi parpol biasa. PNS tidak lagi diwajibkan memilih Golkar. Pejabat di dalamnya diminta memilih, pilih tetap jadi pejabat atau pengurus partai.

Akbar Tanjung, tokoh sentral aktivis mahasiswa itu, memilih mundur sebagai pejabat.

Pemilu 1999 digelar, Amien Rais duduk sebagai ketua MPR, menyusun sejumlah sidang penting, salah satunya amandemen UUD 1945, terkait perubahan pemilihan umum, yang mana Presiden dan Wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat.

2004, pemilu digelar. Rakyat memilih langsung presiden dan wakil presidennya. Namun, tokoh reformasi itu kalah telak. Lantas, siapa yang sebenarnya ingin reformasi?

Di antara euforia reformasi yang sedang menggelora, sepanjang dua dekade berjalan kasus korupsi justru makin meraja lela.

Kasus merata ke hampir semua parpol yang memiliki kursi kekuasaan. Saat itu mungkin kita baru tersadar, kue kekuasaan juga sudah merata, bukan?

Namun mahasiswa masih demo sana sini. DPR, baik tingkat pusat, provinsi, sampe kota/kab masih setia menemui, menandatangi nota kesepemahaman atau apalah namanya, yang kadang hanya berakhir menjadi arsip sejarah.

Ritus berulang. Bahkan ketika Mahkamah Konstitusi (MK) sudah dibentuk dan diberi wewenang sangat luas : hasil sidang ratusan anggota DPR bisa dibatalkan di meja Hakim MK yang hanya berjumlah 7 orang.

RUU yang sudah terbit jadi UU tidak akan bisa dicabut oleh DPR, sekalipun Pemerintah tidak bersedia menandatangani. Itu ibarat Deisme.. sesuatu yang tercipta lalu dibiarkan.

Maka tuntutan mahasiswa jelas tak bisa dikabulkan oleh DPR. Siapa yang bisa mencabut UU yang sudah kadung disahkan?

Kata Charles De Gaulle, Politisi tidak pernah percaya pada ucapannya sendiri, mereka justru terkejut ketika rakyat mempercayainya.

Aktivis mahasiswa masih melakukan aksi demonstrasi, tapi pada hirarki tertentu, sembari menyuarakan keadilan, sebagian juga menikmati kekuasaan.

Jangan heran jika anda lihat para cerdik cendikia mendiskusikan kemiskinan di sebuah kafe super mewah, sembari menyesap secangkir cappucino yang harganya setara 3 kilogram beras.

Kita tidak menolak aksi demonstrasi. Kita menikmatinya. Generasi 60an hingga 90an juga menikmatinya. Mengingat dan mengulang sisi romantisme perjuangan.

Bedanya, mahasiswa sekarang lebih beruntung, karena sangat dekat dengan akses kekuasaan. []

Ahmad Fahrizal Aziz
Rakyat Jelata

Monday, October 5, 2020




Sejarah bisa saja hilang. Kita hanya tahu bahwa masa lalu telah terjadi, namun tidak bisa terhubung.

Cerita masa lalu biasanya dituturkan secara lisan, turun temurun. Lewat dongeng, legenda, mitos.

Sementara, tradisi lisan bisa saja padam. Cerita dari mulut ke mulut, tidak akan semuanya diingat. Sangat mungkin terputus.

Sementara, sumber sejarah telah tiada. Dokumen-dokumen tak terarsipkan dengan baik, generasi lama juga telah banyak yang meninggal. Tak ada lagi yang  bisa ditanyai, apa yang pernah terjadi di masa lalu?

Generasi penerus, tak pernah tahu jika kemudahan yang dirasakan kini adalah urun keringat dari para perintis masa lalu, yang mereka tak kenali.

Karena sejarah terputus, mereka bisa saja mengalami disorientasi. Apa dan bagaimana selanjutnya? Apa sebenarnya tujuannya?

Karena tak tahu sejarahnya, maka jalan yang mereka lalui bisa saja keluar rel yang semestinya. Tidak lagi menapaki "jalan lurus" yang diperjuangkan generasi terdahulu.

Maka sejarah itu penting, agar ada estafet, kesinambungan orientasi. Ibarat rumah, sudah ada pondasinya, maka jangan bongkar pondasi dan bikin baru lagi. Sebab rangka bangunan sudah didesain, tinggal dilanjutkan dan dikembangkan, namun tidak merubahnya dari desain awal. Jika dirubah-rubah, maka kapan akan selesai?

Ya, begitu ibaratnya. Generasi yang tak tahu sejarah hanya akan mengulang hal-hal yang sama. Pondasi sudah dibangun, masih juga meributkan bagaimana bentuk pondasinya. Padahal tugasnya adalah membuat tembok, generasi setelahnya membuat atap dan seterusnya sampai rumah bisa nyaman dihuni.

Tidak hanya itu, generasi yang tidak tahu sejarah jadi kurang punya rasa terima kasih, empati, tidak paham jika apa yang kini ia rasakan adalah buah perjuangan generasi sebelumnya.

Juga kesalahan generasi sebelumnya yang tidak sempat menceritakan sejarah, atau menuliskan sejarah, sehingga generasi penerus jadi bersikap semaunya, tidak punya unggah ungguh, dan tak peduli pada generasi terdahulu.

Maka, sejarah harus dituliskan. Dibukukan. Agar bisa diakses, tanpa tergantung pada teknologi. Meski teknologi juga kian canggih. Namun secanggih apapun teknologi, tetap ada batasannya.

Sejarah harus ditulis secara periodik, agar kisah demi kisah tersambung. Jika tidak sekarang, lalu kapan?

Kita tak bisa menunggu. Setiap orang dibatasi waktunya untuk hidup. Menunggu sampai semua telah berpulang baru kita sadar bahwa banyak hal dari masa lalu yang tidak kita ketahui? Sadar bahwa kita tidak sempat sekadar berucap terima kasih pada generasi yang telah membukakan jalan untuk generasi berikutnya?

Itu sangat menyedihkan. Hal yang sama mungkin juga terjadi pada kita, ketika sejarah perlahan terhapus hanya karena tak sempat dituliskan. []

Blitar, 4 Oktober 2020
Ahmad Fahrizal Aziz

Instagram

Fahrizal A | Designed by Oddthemes | Distributed by Gooyaabi