Suka Duka Mengelola Komunitas Literasi




Saat itu saya hadir dalam sebuah agenda Ekstrakurikuler, namun pesertanya tampak lesu. Pemandangan ini sangat berbeda ketika zaman saya dulu menjadi peserta seperti mereka. Apa sudah terjadi pergeseran?

Usut punya usut, ternyata sekolah mewajibkan siswanya untuk--minimal--mengikuti satu ekstrakurikuler. Banyak dari mereka yang akhirnya memilih ikut ekstrakurikuler tersebut tanpa memiliki tujuan yang jelas. Pokok ikut, asal sudah memenuhi kewajiban dari sekolah.

Memang tidak semuanya lesu. Ada yang bersemangat, meskipun sepertinya kurang dari 50%. Mereka yang bersemangat biasanya memang karena memiliki tujuan, karena itu pilihan mereka, semangatnya pun berbeda.

Saya termasuk yang tidak sepakat dengan suatu yang diwajibkan, apalagi pada usia SMA dan mahasiswa. Usia yang seharusnya dilatih untuk menentukan pilihannya sendiri. Karena sesuatu yang diwajibkan, ketika diikuti biasanya tidak maksimal.

Pada lingkup yang berbeda, saya pernah juga menghadiri suatu pertemuan, didalamnya ada perwakilan instansi pemerintah yang memiliki program literasi. Forum yang harusnya jadi ruang diskusi, gagasan dan usul program itu, jadi forum keluh kesah. Anggaran kurang lah, minat masyarakat rendah lah, dan lain sebagainya.

Saya mewakili komunitas, dan berharap agar komunitas yang saya kelola turut membantu dan bisa lebih bersinergi. Lho, apa tidak keliru? Kami kan hanya komunitas?

Memahami komunitas

Memang ada banyak jenis komunitas, utamanya yang berbasis hobi. Komunitas sering diasosikan tempat berkumpulnya orang dikala punya waktu luang, dengan tujuan rekreasi dan piknik. Intinya bersenang-senang di tengah sibuk dan memusingkannya pekerjaan.

Sebut saja, komunitas bersepeda, vespa, mobil tua, dan sebagainya. Berkomunitas inginnya refreshing, penyegaran, bukan? Namun bagaimana dengan komunitas literasi?

Literasi adalah suatu istilah yang berat. Secara sederhana, komunitas literasi biasanya bergerak dalam dua bidang utama : membaca dan menulis.

Saya dan teman-teman di Blitar turut serta mengelola komunitas kepenulisan, yaitu Forum Lingkar Pena. Komunitas itu memang hirarkis, ada level ranting, cabang, wilayah sampai pusat. Namun soal geraknya sangat mandiri. Swadaya.

Mereka yang bergabung ada yang memang ingin belajar menulis, ada yang mencari teman membahas segala hal tentang kepenulisan, ada yang ingin berbagi ilmu.

Namun tetap ada program kerjanya, layaknya organisasi. Ada strukturnya dari ketua, sekretaris, bendahara dan divisi-divisi.

Kadang, tidak semuanya bisa aktif. Divisi yang harusnya ia kelola jadi terbengkalai, program yang harusnya berjalan jadi macet.

Jika yang bersangkutan bilang mundur, itu berarti akan ada peralihan posisi. Biasanya yang belum masuk struktur akan dimasukkan. Jika tidak ada orang lagi, maka yang lain harus merangkap. Saya pernah merangkap 3 divisi sekaligus.

Marah, kesal, pasti. Itu wajar. Dalam psikologi, menurut Mark Mansoon, tu termasuk Thinking mind (respon otomatis). Kadang saya juga begitu. Tetapi kita harus kembali sadar, bahwa ini komunitas, kan?

Artinya, orang gabung karena sukarela. Tidak dibayar. Kita juga tak bisa berbuat apa-apa jika mereka memutuskan mundur, tidak aktif, atau hilang tiada kabar.

Meskipun, masing-masing kita juga punya kesibukan yang sama, makan nasi yang sama, beban cicilannya pun juga mungkin tak jauh berbeda. Namun satu orang harus mendapat beban lebih dari yang lain dalam komunitas.

Sekali lagi, ini komunitas. Dalam komunitas tidak ada yang bisa saling memaksa. Dia aktif atau tidak, dia mundur atau tetap di dalam, atau hilang tiada kabar, tidak tanggung jawab, kita juga tidak bisa menekannya.
Tetapi jangan sedih. Tidak semua begitu, yang tetap bertahan dan survive kan selalu ada, kan? Ya mereka lah pejuang. Sebab meluangkan waktu di sela kesibukan, mungkin juga direwangi bertengkar dengan istri, suami dan keluarga yang kurang senang dengan aktivitasnya. Selama yakin bahwa yang dijalaninya baik, sampai akhirnya keluarganya mengerti.

Pada intinya, tidak ada keluarga yang menentang anggota keluarganya  melakukan hal baik, namun kadang-kadang mereka menentang sebab ada hal lain yang menurutnya lebih prioritas. Apalagi, pertemuan komunitas sering dipilih hari libur atau hari Ahad, waktu family time.

Hal-hal semacam itu memang harus dimengerti satu sama lain, dan bila pada akhirnya satu orang harus menanggung beban lebih dalam komunitas karena banyaknya tanggung jawab dari anggota lain yang tidak menunaikannya, ya bersabar saja.

Mustinya, jika sudah gabung komunitas, apalagi bersedia jadi pengurus, sebaiknya menimbang sejak awal. Bagaimana kedepannya. Jika memang ragu, mending tidak usah ikut atau menolak sejak awal, daripada nantinya merepotkan banyak orang. Harus tegas sejak dari diri sendiri.

Jika sudah bersedia, dan tidak aktif (padahal bisa aktif), ada waktu untuk bertaubat. Berubah sikap. Daripada nanti jadi beban pikiran, perasaan tak enak terus menerus. Cuma mungkin tingkat kepercayaan orang akan berkurang.

Namanya komunitas itu simpel, ada suka dan duka saat mengelolanya. Namun ketika sebuah komunitas yang kita kelola bisa berkembang, dikenal, menghasilkan banyak karya dan sosok hebat, maka itu sekaligus mengkonfirmasi atau jadi cermin jika diri kita juga telah berkembang. Ada kemajuan dalam hidup kita, minimal lewat komunitas yang kita kelola.

Tetap semangat. Salam literasi. []


Ahmad Fahrizal Aziz

Blogger dan Aktivis Literasi

1 Comments

Tinggalkan jejak kamu lewat komentar di bawah ini. Terima kasih sudah membaca. Salam hangat

Previous Post Next Post

Contact Form