Di sosial media banyak orang mendadak populer, dengan ukuran follower. Setiap kirimannya ke sosial media, disukai banyak orang. Foto-fotonya mendadak viral, menyebar ke berbagai akun.
Dulu, saya kira itu memang demikian adanya. Namun ternyata follower dan liker bisa di rekayasa. Ada aplikasi auto followers, atau auto likers. Tiap kiriman, yang normalnya hanya di like belasan atau puluhan orang, bisa menjadi ratusan bahkan ribuan. Dan itu membanggakan.
Aplikasi tersebut berjalan otomatis. Artinya bukan kehendak dari pemilik akun yang pernah terdaftar sebagai pengguna aplikasi. Besar kemungkinan akun tersebut tidak sempat melihat kiriman yang dia like, karena akunnya dijalankan oleh aplikasi secara otomatis.
Lantas apa yang membanggakan? Jika itu hanya kumpulan “suka” tanpa makna. Kebanggaan karena seolah-olah banyak orang suka, padahal tidak. Bangga seolah-olah ada 1.000 orang yang menyukai, padahal aslinya tak lebih dari 100. Kita merasa dipuaskan oleh keseolah-olahan. Dipuaskan oleh kepalsuan.
Begitulah dunia sosial media berjalan. Sebagian, menampakkan suatu “kelebihan” berdasar tempat makan, atau tempat kunjungan. Belum lagi foto-foto editan bisa merubah warna kulit, bentuk tubuh, atau background foto.
Sosial media mencipta dunia imajinasi yang sunyi. Dunia seolah-olah yang dikonstruksi oleh aplikasi. Tidak ada yang salah, justru kita bisa menikmatinya sebagai kreasi, atau sekedar penghibur. Namun menjadi bencana psikologis, jika keseolahan itu kita yakini sebagai kenyataan.
Jiwa kita berpindah dari nyata ke maya. Dari fakta kepada kepalsuan. Dari ada ke tiada. Dari bumi ke negeri awan, yang tidak mungkin kita pijak. []
Blitar, 16 April 2017
Tags:
Senggang