Blunder Prabowo



| Senin, 5 November 2018
| Oleh Ahmad Fahrizal Aziz

Perbincangan soal pidato Prabowo di Boyolali mengundang perhatian serius. Banyak dibahas di WAG. Bagi yang pro 01, tentu sangat bersemangat "mengulliti" peristiwa tersebut. Bagi pro 02, akan berusaha memberi klarifikasi. Sampai ada yang bertanya, kenapa Prabowo terlihat emosional?

Gaya Prabowo yang meletup-letup, sekilas memang nampak marah dan emosional, akan tetapi bisa jadi itu hanya ekspresif. Artinya, dalam panggung politik hal tersebut dijadikan antitesa dari gaya yang ditampilkan lawannya. Entah anda setuju atau tidak.

Ramai juga di beranda facebook, yang mana teman facebook saya (sepertinya) lebih banyak mendukung Jokowi. Karenanya saya lebih sering melihat postingan negatif tentang pasangan 02.

Lalu apa komentar saya? Ada yang bertanya begitu, via japri. Komentar saya? Apakah penting orang tahu? Apakah memberi dampak?

Karenanya saya tidak berkomentar, soal 01 atau 02. Saya komentar soal Festival Getih Getah Gula Kelapa, 17 November 2018 nanti. Saya dijapri mas Rahmanto untuk membagikan flyernya. Di flyer itu tertulis juga, 725 tahun Majapahit. Apakah itu usia kerajaan Majapahit?

Juga ada yang bertanya, apakah karena pidato tersebut elektabilitas Prabowo akan tergerus? Apakah para pendukungnya banyak beralih ke Jokowi?

Saya tidak tahu, yang saya tahu festival 725 tahun Majapahit itu akan digelar di Candi Simping, dari jam 08.00-24.00 WIB. Ada kirab pataka Majapahit, panggung budaya masyarakat, orasi budaya oleh Prof. Dr. DJoko Saryono dan bazar ekonomi kreatif.

Apakah Prabowo emosional karena sudah berkali-kali gagal menjadi presiden? Entahlah, yang jelas memang tidak gampang berada di posisi kalah, apalagi dalam kontes politik tingkat tinggi seperti pilpres. Modalnya besar.

Prabowo juga tidak mau dikenang sebagai capres yang kalah beruntun. Akan tetapi memenangkan pilpres 2019 nanti juga tak gampang.

Bukan berarti pula tidak bisa menang. Prediksi saya, kecil kemungkinan pendukung Prabowo akan beralih ke Jokowi. Namun tidak untuk sebaliknya. Pendukung Jokowi bisa beralih ke Prabowo, bahkan bisa besar-besaran. Dengan alasan : kecewa karena kinerja.

Dalam politik, harapan tak kalah penting dengan pengalaman. Meskipun harapan itu masih berupa bunga-bunga mekar dalam benak masing-masing. Itu bisa mengobati kecewa yang ada, meski sebentar.

2014 silam adalah kompetisi "harapan". Keduanya sama-sama menjual harapan. Harapan dari Jokowi lebih laku. Namun orang bisa kecewa karena harapan, lalu menyesal, lalu bisa beralih ke harapan yang lain, dengan keyakinan harapan kali ini tidak disia-siakan.

Prabowo mungkin akan menang, selama mampu memenangkan harapan tersebut. Namun harapan yang benar. Ada harapan yang salah?

Ibarat sepasang kekasih yang break karena salah satu dikecewakan, lalu muncul orang baru, yang berkesempatan memberikan harapan. Sayangnya orang tersebut tak memanfaatkannya dengan baik, justru hanya menjelekkan kekasih sebelumnya.

Duh, ini kita bahas apa? Jangan lupa 17 November 2018. Festival di Candi Simping tersebut, yang lokasinya hanya sekitar 2KM dari tempat saya tinggal.

Perlu diingat, bahwa pidato politik sangat penting. Kata-kata, gaya, intonasi, sampai isi, begitu dicermati. Jika ingin pidato yang meletup-letup, bisa meniru Bung Karno. Meletup-letup namun membangkitkan. Atau Bung Hatta, yang pelan namun pasti. []

Ahmad Fahrizal Aziz

Blogger dan Aktivis Literasi

Post a Comment

Tinggalkan jejak kamu lewat komentar di bawah ini. Terima kasih sudah membaca. Salam hangat

Previous Post Next Post

Contact Form