10 Mei, Semua Terasa Begitu Cepat (catatan 2016)


refleksi
10 mei, selalu ada perasaan yang berbeda. Selalu muncul notifikasi yang mengejutkan, atau kiriman yang tak disangka-sangka. Meski sebenarnya, lebih banyak tagihan. Tagihan untuk ditraktir ini itu. 10 Mei berlangsung biasa, dengan nuansa yang tak biasa.

Sejak lahir hingga sekarang, tidak pernah sekalipun saya merayakan hari kelahiran yang tepat 10 mei. Kalaupun ada, itu ngampir neton. Namun tidak pernah tepat 10 mei. Dalam tradisi jawa, ngampir neton patokannya adalah hari, bukan tanggal. Itupun hanya kirim pelangan(makanan yang dikemas) ke tetangga dekat. Neton saya Jum’at pon. Neton bisa diperingati kapanpun, asal Jum’at pon. Tidak harus bulan mei tanggal 10.

Kalau ngampir neton, harus ada iwel-iwel. Menurut tradisi lama, iwel-iwel diambil dari kalimat Liwali walidayah(Berbakti pada orang tua). Sama dengan apem yang konon diambil dari kata mahfu (mahfum) yang artinya maaf. Apem wajib ada setiap kali selametan leluhur, mungkin itu pertanda sekaligus doa agar dosa leluhur termaafkan. Itulah khazanah kebudayaan kita.

Saya pun juga tidak tahu pasti seberapa pentingkah kita mengingat tanggal dan bulan lahir. Karena semuanya tetap berbeda. 10 mei tidak selalu jatuh di hari jum’at, sebagaimana saya lahir dulu. Tahun ini saja jatuh di hari selasa, tahun lalu hari minggu. Kalaupun pada gilirannya jatuh pada hari jum’at, mungkin jum’at yang berbeda. Bukan jum’at pon. Kalau pun jatuh di hari masehi dan jawa yang sama, sudah pasti tahunnya yang berbeda.

Jadi, 10 mei 1992 hanya terjadi sekali selamanya. 10 mei di tahun-tahun berikutnya pastilah berbeda. Hari ke hari, bulan ke bulan, tahun ke tahun hanyalah penanda usia. Tahun ini batang usia saya tepat di angka 24. Setahun kurang dari seperempat abad. Sebagaimana ungkapan melankoli orang-orang, saya pun merasa jika waktu selalu berjalan cepat, betapapun kita mencoba melambatkannya.

Dimensi tua-muda, senior-junior, labil-dewasa, rasanya bersebelahan. 24 tahun terasa cepat untuk ukuran usia, tapi mungkin begitu lama untuk ukuran kedewasaan. Kedewasaan selalu dinanti dalam ketidakpastian, karena kita tidak tahu pasti kapan menjadi dewasa. Kadang, disatu sisi kita masih kekanak-kanakan. Sementara bilangan usia berjalan dengan pasti, tanpa jeda sedikitpun. Kita berkejaran dengan waktu.

Kadang –seperti apa kata Keenan dalam Perahu Kertas—kita merasa lelah diusia yang masih muda. Lelah karena hidup ini terasa berjalan begitu lama, dalam ketidakpastian. Stigma usia selalu menghantui. Saat usia diatas angka 20, disitulah kedewasaan dipertanyakan. Kita takut berbuat yang menurut kita tidak dewasa, meski kita juga tidak tahu pasti apa makna kedewasaan sesungguhnya. Semakin tua kita, semakin takut dengan stigma.


Padahal, let it flow. Kedewasaan tidak bisa ditagih. Kedewasaan adalah proses. Kedewasaan tidak bisa dihitung. Yang bisa dihitung adalah bilangan usia. 24 tahun terasa cepat, namun juga terasa lama. Untuk dua hal yang berbeda. (*)

Blitar, 10 Mei 2016
A Fahrizal Aziz

Ahmad Fahrizal Aziz

Blogger dan Aktivis Literasi

Post a Comment

Tinggalkan jejak kamu lewat komentar di bawah ini. Terima kasih sudah membaca. Salam hangat

Previous Post Next Post

Contact Form