Menyimak Tausiyah Pradana Boy ZTF tentang Islam kekinian


dok. pribadi

Ini untuk pertama kalinya saya mengikuti Tausiyah Pak Boy di sebuah Masjid. Biasanya, waktu masih di Malang, saya mengikuti beberapa diskusinya di Resist atau forum ilmiah lainnya. Terakhir acara Workshop kepenulisan PC IMM Malang sekitar setahun yang lalu. Pagi ini, karena namanya “Tausiyah”, kemasannya sedikit berbeda.

Saya mendapatkan informasi dari Mas Khabib, aktivis PDPM Kota Blitar, kalau Pak Boy akan mengisi kajian ahad pagi di Masjid At Taqwa Kota Blitar. Yang saya tahu, kajian ahad pagi itu memang berisi tausiyah. Artinya, segmentasinya umum. Hal ini tentu agak berbeda ketika di Malang, dimana audiens rata-rata Mahasiswa dan Dosen. Tema yang diangkat pun kadang-kadang membuat kening kita berkerut.

Dulu di semester awal kuliah, saya pernah ikut diskusi Pak Boy di Resist tentang Post-Kolonialisme. Sebagai mahasiswa tingkat pertama, saya benar-benar tertatih-tatih mengikuti diskusi itu. Materinya sama sekali asing ditelinga saya, buku-buku yang dirujuk pun hampir semuanya baru saya dengar. Kesan pertama ini sungguh memberatkan.

Diskusi kedua, kalau saya tidak salah ingat, adalah membahas hasil thesisnya ketika kuliah di Australia. Diskusi itu menyorot kubu konservatif dan progresif di kalangan Muhammadiyah. Lagi-lagi, saya memang kurang ngeh dengan apa yang dibicarakan. Yang saya tahu, istilah konservatif itu digunakan untuk isu lingkungan. Semisal konservasi hutan. Masyarakat memang harus konservatif agar ekosistem hutan tetap terjaga. Lantas, apa hubungannya Muhammadiyah dengan hutan? Pikir saya dengan polosnya.

Beberapa kajian dengan tema-tema berat lainnya juga pernah saya ikuti. Misalkan tentang Islam Profetik. Nama yang dirujuk sebenarnya tidak terlalu asing, yaitu Kuntowijoyo. Saya sendiri sudah mendengar nama Kuntowijoyo sejak masih SMA. Karena saya mengambil kelas Bahasa, jadi saya tahu beberapa nama Sastrawan. Saya baru tahu juga kalau Kuntowijoyo selain sebagai wartawan, juga sebagai Intelektual. Nama lain yang juga sangat familiar adalah Buya Hamka. Saya mengenal Buya Hamka sebagai novelis, tapi semenjak kuliah saya baru tahu kalau Buya Hamka juga seorang Cendekiawan.

Belakangan ini, Pak Boy sendiri juga menulis novel. Ini menarik, mengingat Kuntowijoyo sendiri juga banyak menulis novel, cerpen, dan puisi. Saya tidak tahu, apakah selain novel, Pak Boy juga pernah menulis cerpen atau puisi?

Pagi itu, sejenak saya merenung, apa benar Pak Boy akan mengisi Tausiyah? Apa jamaah tidak akan berkerut keningnya kalau mengikuti tausiyahnya yang mungkin akan membahas hal-hal yang berat. Tapi ternyata tidak demikian. Itu adalah untuk pertama kalinya saya benar-benar mudah mencerna apa yang disampaikan Pak Boy. Apa yang dibahas mungkin berat, tapi penyampaiannya begitu sederhana. Bahkan memulainya dengan membaca sebuah Hadits.

Tausiyah itu terlihat sederhana karena dibumbui banyak cerita-cerita. Tidak hanya cerita yang ada di dalam Al Qur’an, atau kitab-kitab klasik, tapi beberapa juga cerita pribadi. Yang menarik pula, cerita itu kemudian dihubungkan dengan konteks kekinian. Misalkan, tentang Imam Malik yang tidak bisa menjawab semua pertanyaan murid-nya, padahal beliau Imam besar. Ini keterbalikan dengan fenomena sekarang ini, banyak tokoh tertentu yang merasa tahu semuanya, meskipun sumbernya hanya dari Google.

Juga cerita tentang bagaimana Nabi Muhammad mengatasi sengketa, yang tidak langsung menyalahkan pihak-pihak yang berselisih paham dengannya. Hal itu keterbalikan dengan fenomena sekarang ini dimana orang bisa dengan mudah menyalahkan bahkan mengafirkan dengan bukti-bukti yang sebenarnya belum jelas validitasnya.

Jadi Islam kekinian yang dibidik pada Tausiyah tersebut adalah adanya sebagian generasi yang mudah terprovokasi oleh sumber-sumber yang belum jelas validitasnya, yang disatu sisi bisa memicu konflik antara satu dengan lainnya. Itu menyebabkan hal-hal kontraproduktif terjadi. Energi Umat habis untuk bertikai ketimbang melakukan sesuatu yang lebih solutif.

Pesan dari tausiyah itu memang sangat gamblang dan kongkrit. Berbeda sekali dengan diskusi ala kampus yang terkadang begitu abstrak, sampai-sampai ada istilah kalau mahasiswa itu ibarat berdiri diatas menara gading. Apa yang disampaikan hanya diawang-awang dan susah sekali untuk membumikannya.

Dalam Tausiyah itu Pak Boy memang memberikan kesan yang berbeda. Kesan sebagai da’i. Memang agak berbeda da’i dan intelektual. Da’i itu yang disampaikan biasanya “fatwa” dan petuah. Kalau Intelektual itu yang disampaikan teori-teori ilmiah. Pagi itu saya melihat teori yang dibalut dengan petuah-petuah. Ini tentu sangat menarik. (*)

Blitar, 4 Oktober 2015
A Fahrizal Aziz

Ahmad Fahrizal Aziz

Blogger dan Aktivis Literasi

Post a Comment

Tinggalkan jejak kamu lewat komentar di bawah ini. Terima kasih sudah membaca. Salam hangat

Previous Post Next Post

Contact Form